Perjuangan
telah dimulai sejak proklamasi dilaksanakan tanggal 17 Agustus 1945. Hari-hari
berikutnya setelah proklamasi adalah mengisi perangkat-perangkat kenegaraan,
seperti penetapan Undang-Undang Dasar Negara, penetapan Presiden dan Wakil
Presiden, pembentukan Komite Nasional
Indonesia Pusat (KNIP), pembentukan departemen-departemen yang akan
menangani bidang-bidang tertentu, serta penetapan pembagian wilayah Republik
Indonesia menjadi 12 Propinsi. Untuk mempertahankan kedaulatan negara, Presiden
Soekarno yang telah dipilih oleh PPKI, mengumumkan berdirinya tiga badan lain
yaitu Komite Nasional Inonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI) dan Badan
Keamanan Rakyat (BKR). BKR ini berfungsi sebagai penjaga keamanan umum di
daerah-daerah di bawah koordinasi KNI serta untuk mnjaga keamanan lainnya.
Namun
demikian, sebagai negara yang berdaulat, Republik Indonesia masih dihadapkan
pada kenyataan bahwa di wilayahnya masih bercokol tentara Jepng yang telah
menyerah kepada tentara Sekutu. Meskipun tentara Jepang ini telah kalah
terhadap sekutu, mereka masih bersikap sebagai penguasa di Indonesia. Hal
inilah yang kemudian ditentang oleh bangsa Indonesia yang telah memperoleh
kedaulatan dan kemerdekaannya. Dengan semangat perlawanan yang masih membara,
bangsa Indonesia kemudian mengadakan perlawanan dan perbuatan atau perampasan
senjata serta gedung-gedung vital dari tentara Jepang.
Perlawanan
terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Di Surabaya, tanggal 19 September
1945 terjadi insiden bendera di Hotel Yamato, menyusul perebutan Markas
Pertahanan Jawa Timur dan Pangkalan Angkatan Laut yang digunakan Jepang. Di
Jogja, pasukan BKR berusaha merebut senjata Jepang tanggal 26 September 1945.
Hal yang sama terjadi di Semarang pada bulan Oktober. Begitu juga dengan di
luar Jawa. Di Gorontalo, Sumbawa, Aceh dan wilayah-wilayah lainnya, semangat
perlawanan terus membara.
Tantangan
yang dihadapi oleh bangsa Indonesia yang baru berdiri semakin bertambah
sehubungan dengan kedatangan tentara Sekutu di Indonesia. Kedatangan mereka ada
kaitannya dengan kedudukan tentara Jepang di Indoensia. Sebenarnya tugas sekutu
adalah :
1. Menerima
penyerahan tentara Jepang (Jepang kalah dalam Perang Dunia II setelah kota
Hiroshima dan Nagasaki di jatuhi Bom Atom oleh tentara sekutu).
2. Melucuti
senjata tentara Jepang dan mengembalikan mereka ke Jepang.
3. Membebaskan
para tawanan perang pihak Sekutu.
4. Menjamin
keadaan damai untuk kemudian menyerahkan kekuasaan kepada pihak pemerintahan
sipil.
AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies)
adalahpasukan Sekutu yang dikirim ke Indonesia dengan tugas seperti tersebut di
atas. Pemimpinannya bernama Letnan Jendral Sir Philip Chiristisson. Mayoritas
anggota pasukannya berasal dari pasukan Inggris ditambah pasukan tentara
lainnya yang menjadi anggota Sekutu.
Sesuai dengan watak
bangsa Indonesia yang ramah dan terbuka,
pada dasarnya menerima kedatangan mereka dengan syarat yaitu Sekutu bersedia
mengakui adanya Republik Indonesia. Dan ternyata pengakuan de facto RI waktu itu telah membuka jalan bagi masuknya mereka ke
Indonesia.
Akan tetapi rakyat Indonesia kemudian menjadi tidak senang dan
mengadakan reaksi setelah melihat kenyataan bahwa kedatangan tentara Sekutu
ditumpangi tentara Belanda yang tergabung dalam Netherland Indies Civil
Administration (NICA) yang berusaha mengembalikan kekuasaan kolonial Belanda di
Indonesia. Perasaan tidak senang terus berkembang hingga melahirkan kebencian
rakyat Indonesia mengetahui bahwa tentara Sekutu mendukung usaha-usaha Belanda
tersebut.
Tindakan sekutu
membiarkan sepak-terjang orang-orang NICA serta pemaksaan kehendak terhadap
bangsa Indonesia dan pengngkaran janji-janji dalam proses pelucutan senjata
pasukan Jepang tidak bisa dibiarkan. Rakyat Indonesia menjawabnya dengan perlawanan
fisik yaitu perjuangan bersenjata. Beberapa perlawanan tersebut terjadi di
berbagai daerah, antara lain :
1.
Pertempuran
10 November
Pertempuran di Surabaya
pada dasarnya merupakan penolakan para pemuda Surabaya terhadap pemaksaan
kehendak tentara Sekutu. Tentara sekutu menggunakan peristiwa hilangnya Brigadir Jendral Mallaby, salah seorang
perwira Inggris, sebagai alasan untuk menyerang Surabaya. Ultimatum yang
dikeluarkan oleh Sekutu terhadap penduduk Surabaya, sehubungan dengan pendapat
pemimpin tentara Sekutu di Surabaya, bahwa peristiwa Mallaby harus
dipertanggungjawabkan oleh penduduk Surabaya. Ultimatum tersebut dijawab oleh
para pemuda Surabaya dengan mengangkat senjata. Tindakan tersebut menunjukkan
bukti pada kita bahwa bangsa Indonesia adalah bukan bangsa yang mudah digertak.
Tepat pada pukul 06.00 pagi tanggal 10 November 1945 kota Surabaya mulai
dilanda prahara. Meriam kapal laut, pesawat pembom yang dikerahkan Sekutu mulai
membakar Surabaya. Dengan persenjataan seadanya, bahkan bambu runcing pun jadi,
mereka berusaha untuk mempertahankan kotanya tercinta. Surabaya menjadi merah,
semerah darah para pejuang yang telah berkorban untuk tanah airnya. Kurang
lebih selama satu bulan para pemuda Surabaya berhasil mempertahankan kotanya.
Tak terhitung berapa jumlah pahlawan yang gugur. Sebagai penghargaan rakyat
Indonesia kepada kepahlawanan Arek-arekSurabaya dalam perjuangannya, setiap
tanggal 10 November kita peringati sebagai Hari
Pahlawan.
2.
Pertempuran
Ambarawa
Di
Ambarawa Jawa Tengah perlawanan yang
sama terjadi. Pada tanggal 20 Oktober 1945 pasukan sekutu mendarat di Semarang.
Oleh pemerintah RI mereka diperkenankan untuk menyelesaikan masalah tawanan
perang yang berada di Ambarawa dan Magelang. Ternyata mereka disertai oleh
orang-orang NICA yang kemudian mempersenjatai para bekas tawanan perang itu.
Tanggal 26 Oktober 1945 pecah insiden di Magelang yang kemudian menjadi
pertempuran antara TKR dengan pihak Sekutu. Insiden ini dapat diselesaikan
berkat kedatangan Presiden Soekarno dan Brigjen Bethell di Magelang tanggal 2
November 1945. Tercapainya kesepakatan bahwa Sekutu tidak akan mengakui
kegiatan NICA dalam badan-badan yang ada di bawah kekuasaannya, dan hanya akan mengutamakan untuk melindungi
dan mengurus tawanan perang. Akan tetapi tanggal 20 November 1945 pertempuran
terjadi lagi. Hal ini disebabkan Sekutu ingkar janji, mereka menambah
pasukannya. Pasukan sekutu melakukan pemboman terhadap kampung-kampung sekitar
Ambarawa. Dalam pertempuran tersebut ikut ambil bagian pasukan TKR di bawah komando
Mayor Adrongi, Mayor Soeharto, Mayor
Sardjono dan badan-badan perjuangan lainnya. Sejak 26 November 1945 pimpinan
pertahanan diambil alih oleh Kolonel Soedirman. Pasukan lawan ternyata dapat
ditekan dan didesak. Tanggal 11 Desember 1945 Kolonel Soedirman memantapkan
rencana mengadakan pukulan terakhir terhadap pihak lawan. Serangan serempak
dilakukan tanggal 12 Desember 1945. Kota Ambarawa dikepung selama 4 hari 4
malam. Musuh yang merasa kedudukannya terjepit, berusaha mundur ke Semarang.
Pada tanggal 15 Desember 1945 setelah melalui pertempuran yang hebat akhirnya
musuh dapat diusir ke Semarang. Kemenangan ini dicapai dengan taktik infantri
yang tepat dari pimpinan umum perlawanan, Kolonel Soedirman. Peristiwa ini
sampai sekarang diperingati sebagai Hari
Infantri.
3.
Pertempuran
Medan Area
Tindakan
Sekutu yang sama, juga dilakukan di Medan, Sumatra Utara. Setelah mereka
mendarat di wilayah ini tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinan Brigjen T.E.D
Kelly, mereka bersikap sebagai penguasa yang menang perang. Tindakan yang
menyinggung perasaan bangsa Indonesia ini kemudian meningkat menjadi insiden di
Jalan Bali Medan. Hotel tempat mereka diserang para pemuda. Insiden meluas ke
daerah lainnya, seperti Pematang Siantar, Brastagi. Sementara itu tanggal 10
Oktober 1945 di Sumatra Utara terbentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dibawah
pimpinan Akhmad Tahir. Badan-badan perjuangan lain pun seperti
Pemuda Parkindo, Pemuda RI Sumatra Timur, Hisbullah, Napindo dan lain-lain ikut
ambil bagian dalam pertempuran melawan Sekutu. Untuk memperlemah kekuatan RI
dan memeberi peluang kepada Belanda mengembalikan kekuasaannya di Indonesia,
seperti di daerah lainnya, Sekutu minta agar para pejuang menyerahkan
senjatanya. Akibatnya pecahlah pertempuran yang sangat diinginkan oleh Belanda
yang merasa memiliki pelindung, Inggris. Korban berjatuhan. Tanggal 1 Desember
1945, pihak Sekutu memasang papan-papan yang bertuliskan Fixed Boundaries Medan Area, di beberapa tempat, sehingga sejak
saat itu istilah Medan Area menjadi terkenal. Tanggal 10 Desember 1945, pasukan
Inggris menyerang di Trepes yang berhasil digagalkan. Perlawanan terus
memuncak. Pada bulan April 1946 Inggris berhasil mendesak kedudukan
Pemerintahan RI di Medan, sehingga pusat pemerintahan dan markas TKR dipindahkan
ke Pematang Siantar. Meskipun demikian perlawanan rakyat terus berkobar,
terlebih-lebih setelah laskar rakyat dan TKR digabungkan dalam Tentara Republik
Indonesia (TRI) sejak 25 Januari 1946. Selanjutnya perjuangan di Medan Area ini
di koordinasi oleh Komando Resimen Medan Area dibawah komando Mohamad Jacob
Lubis dengan Komandan-komandan Kompi A. Manaf Lubis, Djamin Lubis, Djumbang dan
Buyung Ismail.
4.
Bandung
Lautan Api
Sekutu
memasuki Bandung melalui Jakarta pada tanggal 12 Oktober 1945. Sementara itu di
Bandung telah dibentuk Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan laskar-laskar
perjuangan. Pada saat itu terjadi beberapa insiden yang berkenaan dengan
keberhasilan para pemuda melakukan penyerangan dan perebutan senjata dari
tentara Jepang. Dalam suasana yang panas tersebut datanglah pasukan Sekutu
dengan kereta api dari Jakarta. Kedatangan mereka ternyata tidak meredakan
suasana, bahkan meningkatkan ketegangan. Hal ini disebabkan Sekutu menggunakan
tentara Jepang untuk membuat kekacauan. Pada 23 November 1945 terjadi peristiwa
mengejutkan yaitu sekelompok Pasukan Gurkha menyebrang ke pihak kita. Peristiwa
tersebut disusul dengan keluarnya ultimatum dari pimpina tentara Sekutu di
Bandung tanggal 27 November 1945. Ultimatum tersebut pada pokoknya berisi : “Orang-orang Indonesia yang bertempat tinggal
di Bandung Utara, dengan menggunakan batas rel kereta api yang membujur dari
barat ke timur, harus meninggalkan rumah mereka dan pindah ke Bandung Selatan”.
Penduduk dengan berat hati menuruti seruan tersebut. Tetapi tidak demikian
halnya dengan para pejuang. Para pejuang membentuk daerah-daerah kantong gerilya di Bandung Utara yang telah ditinggalkan
penduduknya. Melalui daerah-daerah
kantong tersebut mereka melakukan serangan dan menjaga kemungkinan jika Sekutu
melakukan kecurangan. Pada tanggal 20 Maret 1946 tentara Sekutu melancarkan
serangan di daerah Selatan (Tegallega). Ini berarti pelanggaran secara
terang-terangan. Tentara Sekutu mendapat bantuan dari Jakarta. Dengan bantuan
penduduk, para pejuang dengan gigih berhasil
mendesak pasukan Sekutu. Menghadapi
perjuangan perlawanan rakyat , tentara Sekutu meminta bantuan pemerintah pusat.
Hasilnya adalah dikeluarkannya sebuah Maklumat dari Perdana Menteri RI, yaitu :
“Daerah Bandung harus dikosongkan, demi kepentingan keberhasilan diplomasi yang
tengah dilakukan Pemerintah Pusat”. Tanggal 24 Maret 1946, jam 22.00 adalah
batas akhir untuk mengosongkan kota Bandung sampai sejauh 11 km. Para pejuang
dan rakyat walau dengan berat hati menaati perintah tersebut. Namun para pejuang
sebelum meninggalkan tempat mereka terlebih dahulu membakar kota Bandung, agar
tentara sekutu tidak memperoleh sesuatu dari daerah yang ditinggalkan. Bandung
menjadi panas. Bandung terbakar, dengan lautan api, seperti apa yang dilukiskan
dalam lagu Halo-halo Bandung.
Setelah
melihat kenyataan bahwa pasukan sekutu banyak terlibat dalam pertempuran dan
banyak mengalami kekalahan, mendorong pimpinan mereka untuk menarik tentaranya
dari Indonesia. Sikap pemimpin Sekutu untuk menarik pasukannya dan menganjurkan
perundingan kepada RI dan Belanda sebenarnya merupakan tindakan berat sebelah.
Karena Sekutu meninggalkan semua peralatan militernya yang kemudian
dipergunakan untuk melengkapi tentara Belanda dengan pralatan militer tersebut,
dalam rangka mencapai tujuannya, menanamkan kekuasaan kolonialnya kembali di
Indonesia.
Akibat
sikap Sekutu yang demikian, bangsa Indonesia disamping harus melakukan
perundingan juga harus bertempur mempertahankan diri dari serangan tentara
Belanda, seperti terjadi pada perkembangan sejarah perjuangan bangsa Indonesia
kemudian. Usaha perundingan dimulai pada bulan Februari 1946. Dalam perundingan
tersebut pemerintah Belanda sebelumnya menyatakan sikap politiknya, yang pada
pokoknya berisi :
a. Indonesia
akan dijadikan negara persemakmuran (Commenwealth)
berbentuk federal yang memiliki pemerintahan sendiri dalam lingkungan kerajaan
Belanda.
b. Masalah
dalam negeri diurus oleh Indonesia
sedangkan urusan luar negeri oleh Belanda.
c. Sebelum
dibentuk persemakmuran akan dibentuk pemerintahan peralihan selama 10 tahun.
d. Indonesia
akan dimasukkan sebagai anggota PBB.
Pendirian politik
Belanda tersebut dijawab oleh wakil-wakil RI tanggal 12 Maret 1946, yang berisi
pernyataan politik sebagai berikut :
a. RI
harus diakui sebagai negara yang berdaulat penuh atas bekas Hindia Belanda
b. Pinjaman-pinjaman
Belanda sebelum 8 Maret 1942 menjadi tanggung jawab pemerintah RI
c. Federasi
Indonesia-Belanda akan dilaksanakan dalam masa tertentu, dan mengenai urusan
luar negeri dan pertahanan diserahkan kepada suatu badan federasi yang terdiri
atas orang-orang Indonesia dan Belanda.
d. Tentara
Belanda harus segera ditarik dari Indonesia
e. Pemerintah
Belanda harus membantu pemerintah RI untuk dapat diterima sebagai anggota PBB.
f. Selama
perundingan berlangsung semua aksi militer Belanda harus dihentikan dan pihak
RI akan melakukan pengawasan terhadap pengungsian tawanan-tawanan Belanda.
Walaupun Pemerintah RI
telah banyak memberikan konsesi-konsesi yang bagi rakyat Indonesia sulit untuk
diterima, Pemerintah Belanda menolak usul balasantersebut.
Selanjutnya melalui
perantaraan Duta Inggris Sir Archibald Clark Kerr, Pemerintahan RI di bawah
Perdana Menteri Sutan Syahrir mengajukan usul baru sebagai berikut :
a. Supaya
pemerintah Belanda mengakui kedaulatan de
facto RI atas Jawa dan Sumatra
b. Supaya
RI dan Belanda bekerjasama membentuk RIS
c. RIS
bersama-sama dengan Netherland, Suriname dan Curaco, menjadi peserta dalam
suatu ikatan kenegaraan dengan Belanda.
Perundingan selanjutnya
dilakukan di Hooge Veluwe, Belanda, pada tanggal 14-25 April 1946. Akan tetapi
perundingan ini mengalami kegagalan karena Belanda tetap keras kepala dengan
hanya mengakui RI de fakto atas Jawa
dan Madura. Sementara perundingan berlangsung, pihak Belanda menggunakan setiap
kesempatan untuk mengganggu dan menekan pihak RI baik secara politik maupun
militer. Tekanan politis antara lain dengan menyelenggarakan Konferensi Malino
yang bertujuan untuk mendirikan negara-negara di daerah-daerah yang baru
diserahterimakan oleh Inggris dan Australia. Konferensi berlangsung pada
tanggal 15-25 Juli 1946. Kofernsi ini bertujuan untuk merongrong Pemerintah RI
melalui pembentukan negara-negara boneka ciptaannya tesebut.
Pada tanggal 1 Oktober
1946, Belanda menyelenggarakan konferensi lain di Pangkalpinang, yakni
Konferensi Pangkalpinang. Tujuannya tidak jauh berbeda dengan Konferensi
Malino, menghancurkan Pemerintah RI dari dalam.
Atas usaha Lord
Killearn, utusan Inggris yang baru, RI dan Belanda mengadakan perundingan
kembali mulai tanggal 10 November 1946 di Linggarjati. Wakil-wakil RI dipimpin
oleh Sultan Syahrir sementara wakil Belanda dipimpin oleh Prof. Schermerhorn.
Hasil perundingan tersebut adalah :
·
Pengakuan Belanda secara de fakto
Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura dan Sumatera.
·
Pemerintah RI dan Belanda bersaa-sama
membentuk Negara Federasi yang bernama Indonesia Serikat.
·
Negara Indonesia Serikat bekerjasama
dengan kerajaan Belanda dalam persekutuan (Uni)nyang diketuai Ratu Belanda.
Hasil perundingan
Linggarjati sungguh-sungguh mengecewakan rakyat Indonesia. Tuntutan
dipertahankannya kedaulatan Republik Indonesia 100% tidak tercapai. Oleh karena
itu timbul suara-suara yang tidak setuju terhadap isi perjanjian tersebut.
Sementara golongan yang mendukung berusaha agar hasil persetujuan tersebut
mendapat pengesahan dari parlemen atau KNIP. Akhirnya pada tanggal 25 Maret 1947, hasil persetujuan Linggarjati
ditandatangani oleh kedua belah pihak (Wakil RI dan Belanda) di Istana Gambir
(Istana Merdeka) Jakarta pada jam 17.30.
Pada tanggal 17 Mei
1947 terjadi sesuatu yang tidak terduga oleh pihak RI. Belanda mengeluarkan
ultimatum melalui Komisi Jendral, bahwa Pemerintah RI harus tunduk pada
interpretasi Belanda mengenai penafsiran Naskah Linggarjati. Di antaranya,
Belanda tetap berkedudukan seperti pemegang kekuasaan dan kedaulatan de jure sehingga berhak pemerintah
Republik Indonesia Serikat. RI hanya boleh menempatkan diri sebagai pembantu dalam pembentukan itu.
Pihak RI menentang
ususlan yang bersifat ultimatum tersebut, karena menurut penafsiran pihak
Indonesia, dalam suatu kerjasama, Indonesia memiliki kedudukan yang sederajat
dan sama, sehingga Republik Indonesia Serikat harus dibentuk bersama antara RI
dan Belanda. Akan tetapi Belanda tetap bertahan mempertahankan tuntutannya.
Menghadapi tuntutan Belanda, nampaknya
perdana mentri Sultan Syahrir tidak tegas. Tanggal 26 Juni 1947, dia mengadakan
pidato melalui radio yang intinya menerima tuntutan tersebut. Tindakan ini
menyebabkan Kabinet Sultan Syahrir jatuh oleh kelompoknya sendiri.
Pada tanggal 3 Juli
1947, Mr. Amir Syaifuddin berhasil menyusun sebuah kabinet baru. Dia sendiri
kemudian menjadi Perdana Menteri. Untuk menjajagi pendirian kabinet yang baru
ini, pihak Belanda mengajukan suatu usul untuk membentuk suatu badan kepolisian
yang bernama Gendarmerie yang
dipersenjatai. Usul tersebut ditolak. Kita tahu bahwa ada niat tidak baik di
dalamnya. Niat tidak baik tersebut dapat kita lihat dari kejadian yang
mengejutkan pada tanggal 21 Juli 1947. Dengan tindakan sewenang-wenang, Belanda
mengadakan serangan kewilayah RI dari segala arah dengan menggunakan
persenjataan modern serta pasukan tambahan yang baru.
Menghadapi serangan
pengecut tersebut (dikenal dengan Agresi
Militer I)pemerintah RI sama sekali tidak memiliki persiapan, sehingga
pasukan RI tidak mampu mencegah gerakan militer Belanda ke arah yang lebih
jauh. Dalam situasi yang menegangkan tersebut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
mengulurkan tangannya untuk mencegah perang yang lebih besar. Agresi Militer
Belanda ini menimbulkan reaksi hebat di
dunia Internasional. Suara simpati berdatangan untuk RI. Kemudian masalah
tersebut diajukan ke Dewan Keamanan PBB oleh India dan Amerika Serikat. Sebagai
hasilnya ialah tanggal 1 Agustus 1947 DK PBB memerintahkan gencatan senjata
yang berlaku mulai tanggal 4 Agustus 1947.
Kemudian atas usul
Amerika Serikat pada Dewan Keamanan PBB adar kedua belah pihak yang bersengketa
menunjuk masing-masing satu negara akan berperan sebagai perantara dalam
pertikaian kedua belah pihak. Usul tersebut diterima. RI memilih Australia. Belanda
memilih Belgia. Sedangkan keduanya memilih Amerika Serikat sebagai negara
ketiga. Kelompok tersebut dikenal sebagai Komisi
Tiga Negara (KTN).
Pada tanggal 27 Oktober
1947 delegasi KTN tiba di Jakarta. Australia diwakili oleh Richard Kirby,
Belgia oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat oleh Dr. Frank Graham. Pihak
KTN berusaha untuk mendengarkan kedua belah pihak. Tempat perundingan
diputuskan akan dilaksanakan di tempat netral yaitu di atas kapal perang
Amerika Serikat Renville.
Perundinga
Renville belangsung pada taanggal 8 Desember 1947. Utusan
pihak RI adalah Amir Syaifuddin, Ali Sastroamidjodjo, H.A. Salim, J. Leimena,
Latuharhary, T.B. Simantupang. Delegasi Belanda dipimpin oleh Abdulkadir
Widjojoatmodjo, seorang boneka belanda yang dikendalikan oleh Vredenburg. Pada
tanggal 17 Januari 1948 dicapai suatu hasil yang ternyata memberatkan pihak RI.
Secara singkat hasil perundingan Renville adalah sebagai berikut :
·
Persetujuan gencatan senjata
·
Pembentukan Uni Indonesia-Belanda dalam
bentuk negara serikat yang merdeka
·
Kedaulatan atas Indonesia berada
ditangan Belanda sampai kedaulatan tersebut dialihkan kepada negara Indonesia
Serikat, dimana RI merupakan bagiannya.
·
Pengalihan kedaulatan di bawah
pengawasan PBB
·
Akan diadakan plebisit yang berkenaan dengan
pembentukan Negara Indonesia Serikat.
Isi perjanjian Renville
pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan isi persetujuan Linggarjati, wilayah RI
secar de facto diakui hanya Jawa, Madura, dan Sumatera. Hasil perjanjian ini
menimbulkan kemarahan rakyat yang menyebabkan pembubaran kabinet Amir
Syaifuddin dan sebagai gantinya diangkat Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana
Menteri.
Sementara itu Amir
Syaifuddin berbalik menjadi pemimpin oposisi terhadap kabinet Hatta. Ia
menyusun kekuatan di dalam Front Demokrasi
Rakyat (FDR) yang mempersatukan golongan kiri dan komunis. FDR berusaha
untuk memancing bentrokan fisik terhadap lawan-lawan politiknya temasuk kabinet
Hatta, dengan dibantu oleh Muso, seorang
tokoh partai komunis indonesia (PKI) yang telah lama bermukim di Uni Soviet.
Kabinet Hatta sekalipun
mendapat serangan dari kaum komunis, tetap menjalankan programnya, yaitu
rasionalisasi angkatan perang. Namun demikian, tindakan Hatta ditentang oleh
kaum komunis, karena menimpa sebagian besar dari pasukan-pasukannya .
pertentangan politik ini berubah menjadi genjatan senjata di Solo. Insiden
tersebut memang di rencanakan PKI yang ingin menjadikan Solo sebagai daerah
kacau, sedangkan daerah Madiun dijadikan basis gerilya.
Setelah terjadi
beberapa insiden di Solo, pada tanggal 18 September 1948 di Madiun oleh
tokoh-tokoh PKI diumumkan berdirinya Republik
Soviet Indonesia. Tindakan ini bertujuan untuk meruntuhkan RI hasil proklamasi 17 Agustus 1945 yang berdasarkan
Pancasila dan menggantinya dengan sebuah negara komunis. PKI kemudian menguasai
seluruh keresidenan Madiun dan beberapa Keresidenan Pati. Pejabat-pejabat
pemerintah, para alim ulama, perwira-perwira TNI dan pemimpin partai, dan
golongan lainnya yang mereka anggap musuh, mereka bunuh secara besar-besaran. Kekejaman
inilah yang membangkitkan kemarahan rakyat, sehingga mereka tidak memperoleh
dukungan dari rakyat.
Untuk memadamkan pemberontakan PKI Madiun, pemerintah RI
bertindak tegas. Presiden Soekarno dalam satu pidato mengajak rakyat untuk
menentukan sikap memilih Soekarno-Hatta atau memilih PKI-Muso. Kemudian
Presiden Soekarno memusatkan seluruh kekuasaan negara dalam tangannya, dan
panglima besar Jendral Sudirman memerintahkan kepala Kolonel Gatot Subroto,
panglima Divisi II Jateng bagian timur, dan kolonel Sungkono, panglima Divisi I
Jatim, yang telah diangkat menjadi Gubernur militer di daerah masing-masing
untuk mengerahkan kekuatan TNI dan Polisi Guna mematahkan kekuasaan
pemberontak. Untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah melakukan
gerakan operasi militer. Dengan dukungan rakyat, pada tanggal 30 September
1948, kota Madiun berhasil kembali ke TNI.
Setelah kesulitan
menghadapi PKI , pada tanggal 19 Desember 1948 Belanda melakukan Agresi
militernya yang kedua. Mereka bermaksud
merebuv ibu kota RI yaitu kota Yogyakarta. Melalui lapangan terbang Maguo
(sekarang Adisucipto), tentara Belanda menurunkan pasukannya. Tanpa perlawanan
yang berarti dari pasukan RI tentara RI dalam waktu singkat mereka dapat
merebut Yogya. Presiden Soekarno dan
Wapres Hatta serta Kepala Staf Angkatan Udara dan tokoh-tokoh lain ditawan
Belanda. Setelah dibawa ke Jakarta, selanjutnya mereka diasingkan ke Prapat
Sumatera Utara dan sebagian dari mereka kemudian dipindahkan ke Pulau Bangka.
Akan tetapi kelangsungan Pemerintah RI dapat dipertahankan karena sebelum pihak
Belanda sampai ke istana Presiden, presiden Soekarno masih sempat mengirim
radiogram berisi mandat kepada para menteri kemakmuran Syaifuddin Prawiranegara
yang berada di Sumatra untuk membentuk Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Menghadapi serangan
yang tiba-tiba, TNI mengalami kesulitan dan mengundurkan diri keluar ibukota
Yogyakarta untuk melakukan perang gerilya menghadapi pasukan Belanda. Setelah
TNI berhasil menata kembali kekuatannya, dengan menggunakan taktik gerilya
mulai merepotkan Belanda. Kekuatan Belanda semakin menurun, kemudian TNI mulai
mengadakan serangan terhadap kota-kota yang didudukinya. Serangan umum tanggal
1 Maret 1949 terhadap kota Yogya yang dipimpin oleh Letkol Soeharto berhasil
menduduki Yogya selama 6 jam. Keberhasilan ini telah membuktikan kepada dunia
Internasional bahwa TNI dan Pemerintah RI masih tetap ada.
Dukungan terhadap
perjuangan rakyat Indonesia mengalir dimana-mana. Sebaliknya kecaman terhadap
Belanda semakin keras. Asia yang diorganisasi oleh India mengadakan Konferensi
Asia di New Delhi untuk membicaraka situasi di Indonesia. Konferensi ini
berhasil mengajukan memorandum kepada Dewan Keamanan PBB. Di antara usul yang
disampaikannya adalah : Pemimpin-pemimpin RI harus dibebaskan, Belanda harus
segera menarik pasukannya dari Yogya dan daerah-daerah lain di Jawa, Madura dan
Sumatera; blokade ekonomi terhadap wilayah RI harus dicabut, kekuasaan atas
seluruh wilayah RI harus segera dipulihkan pada tanggal 1 Januari 1950.
Dewan Keamanan PBB yang
menerima memorandum dari hasil Konferensi Asia, pada tanggal 28 Januari 1949
menyerukan dihentikannya aksi militer Belanda, dan Belanda harus mengembalikan
para pemimpin RI yang ditawan ke Yogya. Amerika Serikat juga mendukung hasil
resolusi DK PBB dan mengecam tindakan agresi militer Belanda. Sebagai hasil
dari resolusi DK-PBB, KTN telah diubah menjadi sebuah komisi PBB untuk
Indonesia atau United Nations Commission
for Indonesia (UNCI) dengan wewenang yang lebih luas dari KTN.
Tugas UNCI adalah
mempertemukan kedua belah pihak, RI dan Belanda dalam meja perundingan di bawah
pengawasannya. Atas prakarsanya tanggal 14 April 1949 diadakan perundingan
antara kedua belah pihak di Jakarta di bawah pengawasan Marle Cochran. Delegasi
RI dipimpin oleh Mohammad Roem dengan anggotanya dan Delegasi Belanda dipimpin
oleh Dr. Van Royen dengan anggora-anggotanya Mr.N.S Blom, Mr. A. Jacob, Dr.
J.J. van der Velde. Perundingan kedua belah pihak ini terkenal dengan sebutan
Perundinga Roem-Royen.
Dalam perundingan
tersebut delegasi RI menegaskan bahwa perundingan kedua belah pihak harus di
dahului oleh pengembalian Pemerintah RI ke Yogyakarta. Perbedaan paham kedua
belah pihak memperlamban jalannya perundingan. Akan tetapi pada 17 Mei 1949
tercapai kesepakatan. Masing-masing pihak mengeluarkan pernyataan politik atas
nama pemerintahannya masing-masing.
Mr. Mohammad Roem
menegaskan jaminan pemerintahannya untuk :
a. Mengeluarkan
perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya.
b. Bekerjasama
untuk memulihkan dan mempertahankan ketertiban dan keamanan.
c. Turut
serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag yang bertujuan untuk
mencapai penyerahan kedaulatan yang
lengkap dan tidak bersyarat kepada negara RIS.
Kemudian Dr. Van Royen
menegaskan pendirian pemerintahannya, yaitu :
a. Mengembalikan
pemerintah RI ke Yogyakarta. Untuk itu dibentuk panitia bersama dibawah naungan
UNCI.
b. Pemerintah
Belanda setuju bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa menjalankan
fungsi-fungsi di daerah Karesidenan Yogyakarta.
c. Pemerintah
Belanda membebaskan tak bersyarat pemimpin-pemimpin RI serta tahanan politik
yang ditahan sejak tanggal 19 Desember 1948, serta akan menghentikan semua
operasi militernya.
d. Pemerintah
Belanda menyetujui Pemerintah RI sebagian dari Republik Indonesia Serikat.
e. KMB
di Deen Hag akan diadakan secepatnya sesudah Pemerintah RI kembali ke
Yogyakarta.
Dengan disepakatinya
prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, Pemerintah Darurat RI di Sumatra
memerintahkan kepada Sultan Hamengku Buwono IX untuk mengambil alih
pemerintahan RI di Yogya dari pihak Belanda.
Melalui perundingan
segitiga antara pihak RI, BFO (negara-negara bagian) dan Belanda pada tanggal
22 Juni 1949 dibawah pengawasan Komisi PBB, dihasilkan tiga keputusan, yaitu
pengembalian Pemerintah RI ke Yogya akan dilaksanakan 1 Juli 1949, penghentian
perang gerilya dan operasi militer Belanda, serta penetapan KMB di Deen Hag.
Hasil-hasil KMB yang
berlangsung di Deen Hag dari tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949,
berhasil diterima KNIP dan di ratifikasi pada tanggal 6 Desember 1949. Pada
tanggal 15 Desember 1949 Ir. Soekarno dipilih sebagai Presiden RIS sedangkan
Drs. Mohammad Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri RIS tanggal 20 Desember
1949. Pada tanggal 23 Desember 1949 Mohammad Hatta berangkat ke Negeri Belanda
untuk menandatangani akte “penyerahan” kedaulatan dari Pemerintah Belanda
kepada RIS. Selanjutnya upacara pengakuan itu berlangsung pada tanggal 27
Desember 1949. Dengan demikian, secara formal Pemerintah Belanda mengakui
kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia secara penuh atas seluruh bekas wilayah
Hindia Belanda, kecuali Irian Barat yang akan dikembalikan satu tahun kemudian.
Dengan disetujuinya
hasil-hasil KMB maka terbentuklah Negara Republik Indonesia Serikat yang
terdiri dari 16 Negara Bagian, diantaranya adalah negara Sumatra Timur, Sumatra
Selatan, Negara Pasundan, Negara RI, Negara Indonesia Timur dan lain-lain.
Namun demikian
pembentukan negara RIS tidak memiliki dasar yang kuat karena tidak mendapatkan
dukungan rakyat banyak. Anggota kabinet yang dibentuk setelah adanya pengakuan
terhadap RIS pada umumnya adalah golongan republiken yang menghendaki agar
Indonesia tidak berbentuk negra serikat tetapi negara kesatuan. Karena itulah
gerakan rakyat di negara-negara bagian yang menuntut kembali ke negara kesatuan
semakin kuat.
Kesepakatan antara RIS
dan RI (sebagai negara bagian RIS) untuk membentuk megara kesatuaan tercapai pada
19 Mei 1950. Realisasi pembentukan negara kesatuan terlaksana setelah
ditandatangani Piagam Persetujuan antara Pemerintah RIS dengan Pemerintah RI.
Kedua belah pihak sepakat bahwa dalam waktu singkat secara bersama-sama akan
melaksanakan pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai penjelmaan
dari RI berdasrkan proklamasi 17 Agustus 1945. Selama dua bulan panitian
gabungan RIS-RI bertugas merancang UUD Negara Kesatuan dan menyelesaikan
tugasnya pada tanggal 20 Juli 1950. Kemudian setelah dibahas di DPR
masing-masing negara bagian, rancangan UUD NKRI diterima, baik oleh senat dan
parlemen RIS maupun KNIP. Pada tanggal 15 Agustus 1950 Presiden Soekarno
menandatangani rancangan UUD tersebut yang kemudian dikenal dengan nama UUDS
1950. Pada tanggal 17 Agustus 1950 RIS berubah menjadi NKRI. Berakhirlah zaman
federasi. Indonesia kembali ke dalam bentuk kesatuan, sesuai dengan cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar