Halaman

Rabu, 28 September 2016

Kembali Hampa

Ruang kosong yang sedari tadi Rian ratapi itu kembali hampa. Tidak ada jejak jejak pengunjung yang akan masuk. Hanya satu-dua barista yang membereskan sudut kafe. Menata meja kursi, menyapu lantai, hingga mengelap gelas yang menimbulkan suara cilik.

Rian masih termenung dengan backsound yang sunyi itu, pikirannya kacau, pandangannya hanya tertuju pada satu, piano putih di sudut kiri bangunan kafe. Sudut itu adalah sudut favorit Rian, dimana ia bisa bermain piano sambil melihat ke arah jendela, menanti yang diseberang menyapanya. Lalu, ia akan menelpon seseorang itu dan memainkannya sebuah lagu hingga rasa kantuk menghinggapi keduanya.

Hari ini, pukul 07.00 Rian sudah bersiap di depan piano seperti biasa, menunggu seseorang di seberang untuk mendengarkan bunyi tekanan tuts pianonya. Ia menyingkap tirai agar sinar matahari masuk dan sosok itu terlihat. Tetapi apa, dua jam setelahnya sosok itu tak muncul. Rian gelisah sepanjang hari. Berkali-kali ia tengok jendela itu, berkali-kali pula ia harus menyebrang jalan dan berdiri di pintu rumah seseorang tersebut. Tapi nihil, tidak ada secuil pun jejeak kehadirannya.

Rian menarik nafas, ia hembuskan pelan. Menarik kaki menuju tempat pianonya berada. Fur elise mengalun dengan nada lambat hari itu, setiap nadanya terasa berbeda dengan hari-hari biasanya, ada nada sedih yang seperti menyusup kedalamnya.

Barista yang ada dan pengunjung yang datang sempat beberapa kali menoleh pada Rian dan pianonya. Mereka membatin sedih yang ditunjukkan dengan mimik muka sedih.

Fur elise masih mengalun hingga 18.00, permainannya semakin lambat, mengisyaratkan hati yang tersayat.

19.00 fur elise resmi berhenti. Rian membanting tangan di atas tuts, semua barista menoleh. Rian berdiri menutup piano, menyingkap gorden dan meninggalkan kafe. Berjalan gontai menuju taman di blok timur dari kafenya. Selama perjalanan ia menunduk, satu dua orang menyapanya tak di gubris. Ia melangkah dengan kepala tertunduk, tapi ia hafal tempat yang akan dikujunginya.

Rian berhenti di perempatan, menyebrang lantas berjalan dan belok kiri hingga ia sampai di tempat tujuan. Di tangannya sudah ada beberapa bunga yang ia ambil di ruang kerjanya di kafe. Ia masuk taman itu dan menemukan satu petak tempat seseorang itu tertidur pulas. Rian menaruh bunga diatasnya. Kembali ia bendung air mata.

Sudah satu bulan, Rina pergi.
Hari itu Rian berjanji melamarnya, tetapi Rian tidak bergegas, ia mengambil minuman di kafenya, meski tak banyak, minuman itu membuatnya mabuk dan kecelakaan itu terjadi saat ia bersama Rina.

Peri Kecil

Rumah bambu itu, kaitan antara satu dan lainnya, lubang-lubang diantara sekatnya, bahkan rayap diujung tanah yang hampir merobohkan rumah reyot itu, selalu di ingatnya.

Bagaimanapun ia lahir dan tumbuh disana. Peri kecil sebutan ibunya. Ia ingat berlari-larian kesana kemari dengan teman kecilnya. Bersenda gurau, saling bertengkar, lalu tertawa kembali. *senyum tipis terlukis diwajahnya*.

"Lay" Pekiknya dalam hati

Kamu harus pulang.

Bagaimanapun mereka rumahmu. Tempatmu untuk pulang.

Lay, berpikir kembali, ia bimbang..
Disini ada Rey, Nay, Fay dan Pay. Dipandanginya satu persatu. Wajah sendu itu, meminta persetujuan.

Sedetik diam

Satu jam

Dua jam

Tiga jam

Tak, mereka tak relakan Lay pergi. Tapi mereka tahu Lay harus pergi. Ibunda telah menunggu peri kecil.

Maka ibu, Lay anakmu pulang membawa batu bata terbaik penghapus rumah bambu.

Haru. Ibu tahu Lay merelakan segalanya untuk Ibu. Tapi Lay tahu  ibu lebih banyak memberikan dari pada apa yang Lay relakan.

Ibu, peri kecil ini untukmu

Senin, 19 September 2016

Aku ingin

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada

Karya : Sapardji Djoko Darmono

Run to 2021

Hari pertama ditahun 2021 adalah hari mendung. Langit pagi yang tak cerah membuatku gamang, apakah tahun ini akan berbeda ataukah tahun ini ...