Halaman

Rabu, 21 Januari 2015

My First



Hello,, lagi semangat upload postingan nih...

sekarang saya ingin bercerita sedikit tentang cerita terbaru saya, yang baru saja saya posting di blog ini juga. judulnya "Sahabat hati". cerita sahabat hati ini terinspirasi dari pengalaman saya sendiri saat di SMA. tentu ada bagian-bagian dan nama yang di rubah sesuai dengan imajinasi saya saat menulis :) . tapi lupakanlah tentang fakta bahwa cerita itu nyata, tetapi nikmatilah secuil cerpen yang saya tulis dengan penuh perjuangan diantara tumpukan tugas pengembangan kurikulum, aritmatika SD, dan bimbingan penyuluhan SD.

sungguh saya tidak berbohong atau lebay. cerita tersebut memang saya tulis di sela-sela saya mengerjakan makalah ketiga mata kuliah tersebut. ceritanya begini.

cerpen ini merupakan cerpen pertama yang saya tulis semenjak saya tergabung dalam organisasi MP3 BEM FIP UM. jadi ini adalah proyek pertama saya. dan tulisan ini awalnya akan saya ikut lombakan dalam suatu lomba. tetapi karena dateline yang sangat mepet dan cerita yang melampaui batas (seharusnya maksimal 3 lembar). yaa sudah dengan sangat berat hati saya tidak jadi mengikut sertakan cerpen ini.

agar cerpen ini bermanfaat dan ada yang membaca. jadi saya posting saja di blog ini. bagi teman-teman yang membaca postingan ini dan penasaran dengan cerpen saya. silahkan bisa di cek di sini.

SAHABAT HATI (sebuah kisah nyata yang di-fiksi-kan)

SAHABAT HATI
Oleh : Dea Nuril Khasanah

Dunia terhenti. Waktu dan suara seolah sepakat tak berputar tak berbisik. Aku terbujur kaku dengan seragam putih abu-abu yang akan terakhir kali aku kenakan hari itu. Tanganku kelu tak mampu tuk bergerak. Yang tersisa hanyalah detum jantung yang berteriak keras dan semakin keras. Memaksaku untuk sulit bernafas dan tercekat. Hampir aku terbang jika salah satu bagian hatiku tak bergemerisik dan menyadarkanku.

Siang itu, seluruh punggawa kelas XII SMAN 1 Lawang berkumpul di gedung bercat kuning tanpa pilar namun tetap berdiri kokoh menaungi ruang di dalamnya. Gedung itu bernama aula. Gedung yang pertama kali menyambutku kala namaku berhasil tercantum dalam deretan nama-nama yang diterima di sekolah ini. Gembira ria rasa hati kala itu. Namun kini, kami harus berkumpul untuk melakukan gladi resik wisuda esok hari. Tak terasa tiga tahun sudah aku mengenyam pendidikan di salah satu sekolah negeri di bagian paling utara kota Malang ini.

Sebenarnya ada yang berbeda dengan gladi resik hari itu. Ya hari itu adalah hari pengumuman SNMPTN, yakni sebuah pengumuman untuk seleksi masuk perguruan tinggi lewat jalur bakat minat atau undangan. Seluruh sekolah sudah tak sabar menanti datangnya jam 12 untuk melihat pengumuman yang berharga itu, termasuk aku yang sedari tadi tak henti-hentinya melirik jam tangan dan mengecek lewat internet, kali saja pengumumannya sudah muncul sebelum jam 12.

Jam terus berdetak waktu terus mengalir pukul 12 pun tiba. Seluruh penghuni aula berlomba-lomba membuka web snmptn milik dikti dan aku berani bertaruh bukan hanya di ruang ini saja yang heboh melainkan di ruang-ruang luar sana pasti banyak yang heboh tentang pengumuman hari itu. Satu persatu jeritan tangis haru dan bahagia mulai terdengar di seluruh sudut ruangan mencoba mengacaukan acara gladi resik. Shabrina, teman sekaligus partner crazy ku yang terkenal dengan nilai terbaikknya dikelas adalah orang pertama yang membuka pengumuman itu dan hasilnya bukan kotak hijau bertuliskan selamat yang ia dapatkan melainkan kotak merah yang berisi kata “gagal” yang berhasil meluncurkan butiran-butiran salju dimatanya. Aku berhasil menangkap rasa kecewa menjalar ditubuhnya, rasa itu menular pula di ragaku. Sedikit pesimis pikiran “kalau Shabrina tidak diterima, bagaimana dengan aku?” mulai bergelanyutan dibenakku. Setelah sedikit memaksa otak untuk mengingat nomor pendaftaran, aku mulai membuka web dikti tersebut. Pelan-pelan memasukkan nomor pendaftaran dan password. Wolla... seperti tidak percaya kotak hijau yang terpampang di laman pengumumanku. Aku mendelikkan mata dan mencoba membaca ulang kata demi kata yang tertulis di kotak hijau tersebut. “Selamat anda lolos di Universitas Negeri Malang dengan program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar” begitu kira-kira tulisannya.

Aku bangkit mengedarkan pandangan keseluruh penjuru ruangan dan mataku menangkap Alya, sahabatku. Aku memeluknya sebagai tanda kebahagiaan. Dan ia balas memelukku. Apa kau tahu? Ternyata Alya juga lolos SNMPTN dan berhasil masuk di universitas yang sama.

Mataku kembali berputar mencari sosok lelaki kurus tinggi berkulit kecoklatan. Dirga, sahabatku yang lain. Berbeda dengan Alya yang menjadi sahabatku sejak di bangku kelas sepuluh, aku dan Dirga sudah bersahabat sejak SMP. Dirga adalah anak dari guru kursus matematikaku. Aku melonjak ketika menemukan siluet tubuhnya di pojok ruangan.

“Dirga” sapaku dengan semangat. Aku berusaha berlari mendekat namun langkah kakiku melambat ketika ku lihat seseorang yang sedang duduk mensejajari Dirga. Kurasakan perubahan dalam diriku suhu tubuh mulai melampaui batas normal dan jantung? Sudah tidak dapat ku hitung berapa kali ia melonjak. Dirga menatapku sambil melambaikan tangan aku melihatnya namun tak membalas pikiranku terlalu fokus pada Rafa yang ikut menatapku. Aku berhenti sejenak mengambil nafas lalu mendekati mereka.

“Hai Dirga, Rafa” bukannya membalas sapaanku Dirga malah melontarkan seribu pertanyaan tentang hasil snmptn. “Aku di terima, Dirga” jawabku untuk menghentikan serbuan Dirga. Kulihat pantulan cahaya dari mata kedua orang didepanku itu. “kalian bagaimana?” tanyaku. Dirga menggeleng kemudian kembali tersenyum. Jujur aku sedikit kecewa dengan jawaban Dirga. Untuk sepersekian detik semuanya bungkam tak ada yang bersuara.

“Selamat ya Nin, diterima dimana kamu?” tanya Rafa memecah keheningan.

“Di UM, Fa” jawabku singkat.

“Oh ya? Jurusan apa?”

“PGSD” serentak kulihat sorot mata Rafa berubah.

Ya aku tahu, sebenarnya Rafa juga menginginkan jurusan dan universitas yang sama denganku. Akupun berharap agar aku dan Rafa dapat diterima dalam snmptn ini, namun kenyataan berkata lain. Rafa tersenyum lalu mengulurkan tangan padaku. Tidak, tidak untuk bersalaman. Uluran tangan itu terus menjalar ke bagian atas kepalaku lalu sedikit mengacak-acak rambutku.

Glegarrrr...

Seperti ada petir yang menyambar hatiku. Detak jantungku berpacu dan terus berpacu. Kakiku serasa melayang tak menginjak tanah. Aku menggelengkan kepala menyadarkan diriku sendiri atas kejadian ini. Kulihat Dirga sedang melengos melihat kejadian antara aku dan Rafa barusan. Tentu saja Dirga sudah tahu semuanya, tentang rasaku pada Rafa dan mungkin ia juga tahu bahwa aku baru saja terbang karena sentuhan Rafa.

“Kenapa Nin?” tanya Rafa.

Aku menggeleng. “tidak ada apa-apa Fa, aku ke teman-teman kelasku dulu ya”. Sebernarnya aku masih ingin berlama-lamaan mengobrol dengan Rafa seperti tadi, tetapi karena kali ini aku tak dapat mengatur perasaan. Lebih baik menghindar.

*****

Acara wisuda dimulai. Aku sedikit tergesa-gesa karena datang terlambat. Untung saja barisan kelasku berada di belakang. Keterlambatanku ini bukannya tidak beralasan, semalam aku tidak bisa tidur karena terlalu bersemangat memikirkan Rafa dan sentuhan kecilnya di kepalaku.

Banyak spekulasi yang muncul dibenakku kemarin malam. “apa Rafa menyukaiku?”, “kenapa Rafa melakukan itu”, “Jika dia menyukaiku, kenapa ia tidak bilang?”, “apa aku tidak peka?”. Aarrrgghhh... banyak pikiran-pikiran aneh menyelimuti malamku. Yang jelas aku terlalu bahagia karena ulah kecil Rafa.

Usai wisuda, seratus kali sudah aku bergaya didepan kamera satu dan kamera yang lainnya. Moment ini memang berharga dan akan berlangsung sekali seumur hidup.

“Jangan lupakan aku ya teman-teman” celetuk Bibah, teman kelasku yang paling ramai.

“Hai Nin, kamu mau langsung pulang Nin?” tiba-tiba Alya muncul, sepertinya ia juga baru selesai melaksanakan ritual foto-foto dengan teman sekelasnya.

“Entahlah, rasanya aku masih ingin disini untuk yang terakhir kali” jawabku.

Alya mengangguk. “Aku mau mampir ke bu Priyo nih, pingin borong jajannya sekaligus bikin kantin sepi makanan. Mau ikut?”. Aku nyengir “Ide Bagus”. “Eh, tapi antarkan aku ke kamar mandi dulu ya” pinta Alya. “Okke booss!!”

Aku menunggu Alya di luar kamar mandi. Kamar mandi itu terlihat sedikit sepi. Terdengar sayup-sayup suara seseorang. Kepalaku berpaling mencari sumber suara. Aku teringat ada taman kecil yang baru dibangun di sebelah kamar mandi. Kulangkahkan kaki mendekati taman tersebut. “Ah, Rafa” pekikku senang dalam hati. Namun, kesenanganku tak berlangsung lama. Kulihat Rafa sedang bersama Anne.

“Maaf ya Anne, aku harus mengatakan ini” sayup-sayup ku dengar suara Rafa.

“Memangnya kamu mau berkata apa Fa?”

“Aku suka kamu Ne, sejak aku mengenalmu di kelas dua belas”

Nina menyeka matanya, tangannya yang lain menutup mulutnya agar tidak bersuara. Lalu melangkah pergi. Tiba-tiba saja, ia sudah tidak tertarik dengan perbincangan antara dua orang di taman kecil itu. Hatinya sudah hancur remuk. Mungkin jika di andaikan sudah seperti bungkus permen yang dibuang lalu diinjak-injak.

*****

Kobaran api itu terus membara. Menyala-nyala mencoba menghabiskan semua yang ada di sekitarnya. Nina merobek-robek beberapa kertas. Sebelumnya ia telah membaca kertas itu, yang tak lain adalah coretan-coretan dirinya tentang Rafa. Sekarang ia sedang memandangi sebuah foto. Sebuah foto yang ia dapatkan dari majalah sekolah, ketika Rafa memenangkan lomba olimpiade Sejarah di Jawa Timur. Sungai dimatanya mengalir membasahi kedua pipi indah dan lesung pipit miliknya.

Aku bukan milikmu, dan mungkin aku memang takkan bisa jadi milikmu. Mungkin memilikimu adalah mimpi bagiku. Terima kasih atas segala yang telah kau berikan untukku. Untuk semangat yang kau tularkan dan seutas senyum yang selalu kau tebarkan. Mencintaimu aku bahagia, walau rasa sakit selalu mengiringi langkahku tuk bersamamu. Aku mencintaimu, walau aku tak bisa menuntaskannya....

Dirobeknya foto ditangannya seakan menggambarkan robeknya hati Nina. Tetapi gadis itu tetap diam, ia tidak jadi membakar foto tersebut. Nina berlari kekamarnya dan mengambil solasi. Direkatkannya kembali kepingan foto-foto tersebut, dan menuliskan sesuatu dibelakangnya, kemudian berucap didalam hati, “Rafa, mungkin kamu tidak pernah tahu rasa hatiku saat ini. Bahwa aku mencintaimu. Tetapi, tidak apa-apa. Aku akan menyimpannya sendiri dan menjadikanmu sahabat. Hingga, sampai pada saat suatu saat nanti, aku akan mengatakannya padamu. Untuk sekarang aku hanya perlu menyebutmu sahabat.”

Ia membaca ulang kata dibalik foto Rafa miliknya. “Sahabat hatiku, Rafa”.

**END**

Run to 2021

Hari pertama ditahun 2021 adalah hari mendung. Langit pagi yang tak cerah membuatku gamang, apakah tahun ini akan berbeda ataukah tahun ini ...